Proses penciptaaan pada umpasa bersifat kreatif. Sifat kreatif ini diturunkan secara turun temurun dari nenek moyang ke generasi-generasi berikutnya. Maksudnya penciptaan dilakukan oleh masyarakat, baik dengan belajar, sistim pewarisan tunggal, atau tradisi lisan dari mulut kemulut, dari masyarakat Simalungun itu sendiri. Setelah penulis meneliti berbagai Umpasa, pada bagian sampiran kata-kata yang digunakan kebanyakan bersifat mana suka, sehingga jika seorang peneliti menerjemahkanya kedalam bahasa indonesia, makna sampiran tersebut tidak akan pernah bisa utuh, atau dengan kata lain tidak memiliki arti yang berhubungan erat dengan makna. Tapi jika dilihat dari isinya umpasa ini jelas erat hubunganya dengan makna, karna dapat diartikan secara analisis makna dalam semantik.
Jika dilihat secara sepintas sampiran dan isi tidak ada hubungan, tetapi kalau dirasakan antara kedua-duanya ada perhubungan. Perhubungan yang terdapat didalamnya suatu perhubungan gaib, suatu perhubungan batin. Seandainya tidak ada tidak perlu diperlukan sampiran didalam Umpasa. Lagipula dengan mengucapkan sampiran saja, orang lain sudah mengerti akan maksudnya.
Pada Umpasa lama, pengarang bersifat anonim juga kolektif, namun pada Umpasa modern pengarang telah membubuhkan namanya dan bersifat individu.
Dengan perkataan lain: antara sampiran dan isi ada hubungan, walaupun perhubungan itu tidak jelas kelihatan, hanya dapat dirasakan dengan perasaan, inilah salah satu sebap maka Umpasa itu susah diterjemhkan

Ferdinan De J Saragih, Penyair, Cerpenis, Pemerhati Budaya, Bahasa dan Lingkungan. Lahir di Desa Sigodang, Sumut, 04 Desember 1988